Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara kembali terkoreksi setelah sempat berada di zona hijau. Pelemahan ini terjadi seiring dengan permintaan batu bara termal di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan yang mungkin mengalami penurunan dalam beberapa tahun ke depan akibat target net-zero yang ketat di wilayah tersebut dan pasokan bahan bakar alternatif yang lebih baik untuk pembangkit listrik.
Menurut data dari Refinitiv, pada perdagangan Rabu (14/02/2024), harga batu bara ICE Newcastle kontrak Maret ditutup di angka US$ 123,4 per ton atau turun 0,48%. Harga batu bara melemah setelah sempat menguat 0,4% pada perdagangan Selasa.
Menurut S&P Global Commodity Insights, impor batu bara di wilayah Jepang, Korea, Taiwan naik 3,1% menjadi 279 juta metrik ton pada 2022, tetapi turun 13% menjadi 243,4 juta metrik ton pada 2023. Analis memperkirakan penurunan impor batu bara termal sebesar 4%-6% pada 2024. Penurunan ini sejalan dengan upaya peningkatan penggunaan energi nuklir dan sumber energi terbarukan untuk mencapai target net-zero.
Meskipun batu bara dan gas masih menyumbang dua pertiga dari campuran energi di wilayah tersebut, pembangkit listrik tenaga nuklir dan energi terbarukan semakin meningkat. Penurunan permintaan batu bara termal juga mencerminkan penurunan konsumsi listrik di Jepang dan Korea Selatan pada 2023.
Jepang, sebagai contoh, telah menghidupkan kembali dua reaktor nuklir pada pertengahan 2023 dan akan membuat dua reaktor lainnya beroperasi pada 2024. Hal ini meningkatkan pangsa energi nuklir dalam produksi listrik secara keseluruhan. Sementara itu, Korea Selatan menurunkan target energi terbarunya tetapi fokus pada pengurangan pembangkit listrik tenaga batu bara dan peningkatan penggunaan nuklir.
Penurunan permintaan batu bara juga dipengaruhi oleh proyeksi Shell bahwa gas alam cair (LNG) akan menggantikan batu bara sebagai driver utama ekonomi di China dan Asia lainnya. Mengutip OilPrice.com, permintaan LNG diperkirakan akan meningkat 50% pada 2040, dan perdagangan LNG global akan tumbuh menjadi sekitar 625-685 juta ton per tahun. Hal ini sejalan dengan upaya China untuk beralih dari batu bara ke gas untuk mengurangi emisi karbon.
Di tengah harga batu bara mengalami penurunan pada 2023, permintaan dari pembeli Korea Selatan juga turun 11% karena adanya diversifikasi sumber dan pembatasan impor dari Rusia. Perubahan ini menandai pergeseran menuju energi yang lebih bersih dan terbarukan di wilayah tersebut.
Dengan melihat tren ini, harga batu bara kemungkinan akan terus mengalami tekanan, seiring dengan dorongan untuk mencapai target net-zero dan meningkatnya permintaan LNG sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan di Asia.
Laporan dari Reuters juga menunjukkan, impor batu bara thermal dari Asia pada Januari 2024 melandai karena melemahnya permintaan dari China dan India. Namun, impor dari Jepang dan Korea Selatan naik.
Merujuk data Kpler, impor batu bara thermal Asia yang menjadi sumber energi di pembangkit listrik turun 5% menjadi 77,65 juta pada Januari 2024. Pada Desember 202, impor menembus 81,8 juta ton.
Impor China pada Januari mencapai 27,92 juta ton. Volume impor jatuh 13% dibandingkan pada Desember 2023 yang menembus 31,59 juta ton. Kendati demikian, impor China pada Januari 2024 lebih tinggi 34% dibandingkan Januari 2023 yang hanya 20,86 juta ton.