Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara acuan dunia berhasil ditutup di zona hijau pada perdagangan akhir pekan. Hal ini didorong dari optimisme para pelaku pasar mengenai pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reverse (The Fed) Amerika Serikat (AS) dalam waktu dekat.
Berdasarkan data dari Refinitiv pada Jumat (26/7/2024), harga batu bara acuan ICE Newcastle untuk kontrak Agustus 2024 ditutup menguat 0,61% di posisi US$ 139,25 per ton. Begitu juga dalam sepekan terapresiasi 0,18%.
Adapun, optimisme para pelaku pasar mengenai pemangkasan suku bunga AS makin dekat setelah data inflasi AS periode Juni tercatat lebih rendah.
Indeks pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) turun pada periode Juni 2024 menjadi 2,5%, dibandingkan periode bulan Mei 2024 sebesar 2,6%.
Pejabat The Fed menggunakan ukuran PCE sebagai dasar utama mereka untuk mengukur inflasi, yang terus berjalan di atas target jangka panjang bank sentral sebesar 2%.
Pasar berjangka telah memperkirakan sekitar 90% peluang penurunan suku bunga pada September diikuti oleh penurunan suku bunga pada pertemuan FOMC November dan Desember, menurut ukuran FedWatch dari CME Group.
Jika suku bunga turun sesuai dengan harapan para pelaku pasar, makan greenback dolar AS akan makin murah bagi pemegang mata uang asing lainnya. Hal ini pun dapat menguntungkan komoditas batu bara yang menggunakan transaksi dolar AS. Sehingga harga batu bara dapat lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya dan mendorong peningkatan permintaan batu bara ditengah banyaknya sentimen buruk untuk batu bara.
Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan permintaan batu bara Eropa diperkirakan turun 19% pada tahun ini ke rekor terendahnya.
“Menyusul penurunan besar konsumsi batu bara di Eropa pada 2023, kami memperkirakan Eropa akan menunjukkan penurunan signifikan lainnya pada tahun 2024,” kata IEA dalam pembaruan yang diterbitkan Rabu kemarin, menambahkan bahwa permintaan tahun lalu telah merosot hampir seperempatnya.
Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh upaya pengurangan emisi pada pembangkit listrik di Eropa dan munculnya energi terbarukan dikombinasikan dengan peningkatan kinerja nuklir, yang diperkirakan akan mempengaruhi permintaan batubara secara signifikan.
Dengan demikian, permintaan batu bara di kawasan tersebut kemungkinan akan menyusut tahun ini menjadi 287 juta ton, yang merupakan pertama kalinya dalam catatan IEA penurunannya berada di bawah 300 juta ton.